Sumber gambar: t0.gstatic.com
Semua malam pengantin umumnya menuaskan pria, tetapi hampir 79% selalu saja menjadi hal yang tersimpan di hati pengantin wanita, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang kecewa dengan istilah "malam bahagia" di saat mereka menjalani malam pengantin, kenapa?
Pengantin-pengantin memerlukan tidur lelap justru saat menjelang tibanya malam pengantin. Tetapi biasanya para calon pengantin baru seringnya mengalami stres beberapa hari menjelang hari "H". Banyak faktor yang membuat stres para "calon" pengantin baru, yang pada akhirnya menguras, mental, tenaga dan pikiran, yang berujung pada kurang lelapnya tidur. Yang seharusnya "calon" pengantin baru dapat memanfaatkan seminggu sebelum "pertempuran" memiliki waktu yang cukup untuk istirahat dan mendapatkan kebugaran dan tentunya fisik dan mental yang sangat fit.
Kurang terencana
Selain mempersiapkan fisik yang bugar, hal yang harus dipersiapkan pula adalah masalah "ekonomi". Orangtua dulu sering mengatakan bahwa faktor ekonomi dan rezeki itu sudah ada yang mengatur dan pasti mengikuti. Namun tentunya hal ekonomi ini harus menjadi hal yang dipersiapkan, bukannya orientasi materialistis. Tetapi setidaknya seseorang yang akan menikah telah memiliki sumber pendapatan, yang besar atau kecil nilainya adalah relatif. Dengan ini tentunya akan membawa dampak pada ketenangan pikiran yang pada akhirnya "kenikmatan" indahnya malam pengantin dapat dirasakan karena beban mental kita telah tenang.
Malam pengantin yang membuyarkan.
Malam pengantin yang buruk adalah malam ketika resminya insan sebagai suami isteri, yang seharusnya membangun landasan perkawinan menjadi kokoh, sebaliknya malah membuyarkan. Kesalahan ini terjadi pada satu pihak, baik pengantin pria maupun wanita, atau salah dua-duanya. Imajinasi-imajinasi mereka menjelang malam pengantin terlalu tinggi, sehingga mereka mendapati malam yang ingin berkesan itu, tidak sebagaimana yang dikhayalkan sebelumnya.
Perawan
Masalah yang tetap saja menjadi "kuno" di kalangan kaum pria adalah apabila merasa mendapatkan si gadis tidak perawan lagi. Jika pria, lalu mempunyai sikap keharusan perawan bagi calon istrinya, hendaklah hal itu sudah menjadi pengetahuan yang bersangkutan sebelum malam pengantin tiba, juga sebelum naik ke ranjang pengantin. Yang berbahaya adalah, jika timbul kecurigaan yang membuat segala bentuk versi dalam batin, bila dinyatakan mungkin timbul konflik. Dalam suatu kehidupan modern, dimana harmoni dipakai sebagai standar, soal perawannya "calon istri" sudah layak dipecahkan jauh-jauh hari.
Impotensi
Impotensinya pengantin pria juga menjadi masalah yang seringkali dirahasiakan oleh banyak pengantin wanita. Kasus demikian ini tidaklah kalah dalam hal memberi peluang musibah sebagaimana jika pengantin pria mendapati masalah ketidak perawanan tadi, sehingga masalah yang tampak "kecil", sesungguhnya pada proporsi yang paling personalistik menjadi begitu penting.
Pilihan
Ada beberapa pilihan untuk mengatasi masalah ini. 10 jalan keluar yang benar-benar harus dijadikan pegangan oleh para calon pengantin sebagaimana sifat-sifat khas bangsa-bangsa di dunia:
1. Pengantin pria dan pengantin wanita diharuskan punya satu jalinan akrab, setidak-tidaknya 6 bulan menjelang memasuki malam pengantin.
2. Perbedaan usia di antara dua insan itu tidak boleh melebihi 15 tahun, mengingat kemungkinan timbulnya berbagai distorsi dalam usaha melestarikan ujud perkawinan.
3. Jika dua calon pengantin terdiri dari dua bangsa yang berbeda (dalam hal ini juga suku), maka diperlukan adaptasi budaya satu dengan lainnya, sehingga tidak akan menimbulkan peluang dan kerewelan di masa depan.
4. Diperlukan pemeriksaan medis baik pengantin pria maupun yang wanitanya, agar tidak terjadi kekecewaan disalahsatu pihak atau tuding-menuding yang merupakan awal suatu neraka rumah tangga.
5. Peran calon pengantin pria nampaknya begitu penting. Dianjurkan supaya pengantin pria mempunyai pengetahuaan yang baik dalam hal seksualitas (dapat memperolehnya melalui buku atau biro konsultasi seksualitas).
6. Peran kata dan raba. Barangkali ini lebih penting daripada senggama dimalam pengantin itu sendiri, atau setidaknya salah satu persyaratan puncak. Kadang memang ketergasaan selalu ada di pihak pria, namun ini sudah seharusnya disadari jauh hari sebelum peristiwa terjadi.
7. Hibungan seksual harus sepenuhnya dilakukan dengan sadar oleh kedua belah pihak. Rasio dan emosi harus seimbang.
8. Menyangkut teknik bersenggama itu sendiri, bagi orang-orang di Afrika kelihatannya lebih mengutamakan waktu yang disediakan pada pracoitus menjelang bersenggama, yang sifatnya dipersembahkan untuk wanita, agar dia mencapai puncak rangsangan terlebih dahulu, barulah coitus dengan resmi diperankan. Di sana disebut ngebo pada orang barat lebih ekstrim. Mereka sama berbuat agar seluruh gerak tingkah menghasilkan orgasme lebih dahulu.
9. Baik ditiru orang-orang yang menghuni pegunungan Andes di Amerika Selatan, dimana terlarang untuk melepaskan dekapan apabila manusia selesai bercoitus.
10. Sehabis melakukan peranan masih harus disampaikan pujian dari masing-masing pihak yang terjadi selama ini umumnya langsung menggeletak karena sudah merasa puas dan capek. (Berbagai sumber)
Post a Comment